Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kutukan Gandhari dan Kematian Kresna

 Setelah berakhirnya perang Bharatayuda, dilangsungkanlah upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas. Dalam upacara tersebut semua anak menantu dari Gandhari (ibu dari Kurawa) yang hadir tampak menangis sedih dihadapan mayat suaminya yang terbujur kaku, begitupula dengan Gandhari yang merasa terpukul harus kehilangan seratus anaknya. Hadir pula dalam kesempatan itu adalah para Pandawa lima, Kunti, dan Sri Kresna.   





Kresna mencoba menghibur Gandhari, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. 

Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. 

Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Ucapan tersebut kembali di sambut oleh Gandhari ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran. Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran,". 

 

Akhirnya Gandhari pun mengucapkan sumpahnya untuk Kresna,  "Seperti semua anggota keluargaku yang mengalami kehancuran didepan mataku sendiri, maka demikian juga dengan anggota keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri!," 

Menanggapi hal itu, Kresna hanya tersenyum dan menjawab, "Semoga saja demikian,". Kresna menerima sumpah Gandhari, ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu memiliki nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya. 


Sumpah Gandhari dan Kematian Kresna


Mosalaparwa atau Mausalaparwa merupakan buku keenam belas dari kitab Mahabharata, dalam buku tersebut dikisahkan mengenai kehancuran para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum yang berada di Mathura-Dwaraka tempat dimana Kresna memerintah. Kisah tersebut juga menceritakan mengenai kematian Raja Kresna, dan saudaranya, Raja Baladewa atau Balarama. 


 

Dikisahkan setelah Yudhistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Prabu Yudhistira telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah memberitahukan bahwa akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Hal yang sama pun dirasakan oleh Kresna, ia telah mendapat firasat bahwa kejayaan bangsanya akan segera berakhir, karena ia telah melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah mengagungkan kesombongan, takabur, dan senang minum-minuman keras hingga mabuk-mabukan. 

Suatu hari, Narada bersama beberapa orang resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda jahil telah merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi tersebut, mereka kemudian mendandani Samba (Putra Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita lalu diarak keliling kota dan ditemukan kepada resi yang mengunjungki Dwaraka. 

Salah seorang dari pemuda itu kemudian berkata,  "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan seketika menjadi emosi dan marah, lalu mengutuk mereka dengan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala (red: Mosala = Gada) yang akan memusnahkan kamu semua!"

Apa yang dikatakan oleh para resi tersebut kemudian menjadi kenyataan, Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya, dan atas perintah Raja Ugrasena, senjata Gada itu kemudian dihancurkan hingga berkeping-keping yang sebagiannya telah menjadi serbuk. Serbuk dan sepihannya itu kemudian dibuang ke lautan. Kepada rakyatnya, Baladewa dan Basudewa (Kresna) melarang orang-orang untuk meminum arak. 

Kisah lain menyebutkan bahwa serbuk-serbuk yang telah dibuang tersebut kemudian kembali ke pantai, dan dari serbuk-serbuk tersebut tumbuhlah tanaman yang mirip rumput tetapi memiliki daun yang cukup tajam laksana pedang. Sedangkan serpihan-serpihan dari senjatan itu kemudian termakan oleh seekor ikan, yang kemudian ikan tersebut tertangkap oleh perahu nelayan, dan dijual pada seorang pemburu. Pemburu yang menyadari ada serpihan-serpihan besi di dalam perut ikan tersebut kemudian mengumpulkannya lalu menempanya hingga menjadi sebuah anak panah.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. 


Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna.  




Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. 

Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. 



Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. 


Kresna memang mampu menyingkirkan kutukan para brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, tetapi ia sama sekali tidak mau mengubah kutukan Gandari, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa menghancurkan bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Oleh lantaran bangsa itu mulai senang berbuat maksiat, mabuk-mabukan yang berpotensi membuat kekacauan di Bharatavarsa.  Kresna menerima kutukan Gandari yang menyebutkan bahwa ia harus menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. 

Setelah peristiwa tersebut, Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirimkan uturan ke kota para Kuru untuk menempatkan para wanita dan Kota Dwaraka berada di bawah perlindungan Pandawa. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Bangsa Wresni, Andhaka dan Yadawa telah musnah ke hadapan Raja Yudhistira di Hastinapura.


Kematian Balarama


Kresna segera menemui Balarama yang tengah menunggunya di hutan. Di situ ia menemnukan kakaknya itu sedang terduduk di bawah pohon besar di tepian hutan, ia duduk seperti layaknya seorang yang melakukan yoga. Pada saat itu Kresna melihat kemunculan seekor ular besar yang keluar dari mulut kakaknya, yang dikenalinya sebagai ular kepala seribu yang bernama Ananata, ular tersebut kemudian melayang menuju lautan ke tempat dimana para Dewa-dewa datang untuk berkumpul dengannya.



Dalam kisah lain yaitu dalam Bhagawatapurana, dikisahkan bahwa setelah Balarama atau Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran dinasti Yadu, ia pun duduk bersemedi di bawah sebuah pohon, dan tidak berapa lama kemudian ia meninggalkan dunia setelah mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya. 

Setelah menyaksikan kepergian sang kakak, Kresna kemudian duduk disebuah baru dibawah pohon di Prabhasa Tirta, ia mengenang segala peristiwa, dan ia pun tahu bahwa sudah saatnya ia "kembali". Maka Kresna pun mulai menutup semua pancra inderanya dengan melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra, pada waktu itu bagian bawah kaki Kresna menjadi berwarna kemerah-merahan yang tampak menyala terang. 

Pada saat bersamaan, ada seorang pemburu (Vyadha) yang bernama Jara, Jara yang seharian tidak berhasil mendapatkan buruannya itu kemudian melihat adanya sesuatu yang berwarna kemerah-kemarah dari jauh, ia merasa bahwa benda berwarna merah tersebut adalah binatang buruan, sehingga ia pun memanah benda berwarna merah itu dengan panah besi yang sebelumnya dibuat dari serpihan-serpihan besi yang ditemukannya dalam perut ikan yang sebenarnya berasal dari senjata Mosala yang telah dihancurkan. 

Kematian Kresna

Panah yang telah mengandung racun tersebut kemudian melesat dan tepat mengenai benda yang berwarna kemerah-merahan itu. Sang pemburu itu pun segera berlari menuju buruannya, namun betapa kagetnya ketika didapati bukan hewan buruan yang ia dapatkan melainkan seseorang yang berjubah kuning yang sedang melakukan Yoga dengan tubuh berwarna kebiruan akibat racun dari panah yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya.   

Jara mengetahu kekhilafannya lalu ia meminta maaf pada Krena atas kesalahannya itu. Namun Kresna hanya tersenyum dan berkata

‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.


Daruka yang sebelumnya ditugasi melapor ke Hastinapura, berhasil menemui para Pandawa lal menceritakan keadaan yang telah terjadi di Dwaraka. Setelah mendengar kabar berita tersebut , Arjuna segera mohon pamit untuk menjenguk Basudewa, dan dengan diantar oleh Daruka, Arjuna berangkat menuju Dwaraka. 

Sesampainya di Dwaraka, Arjuna mendapati kota itu telah sepi, ia pun sempat berjumpa dengan orang-orang tua, anak-anak, dan para janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang saudara. Arjuna dibantu para ksatria yang tersisa segera mengumpulkan mereka untuk dibawa ke Kurukshetra. 

Arjuna bertemu dengan Basudewa yang dalam kondisi lemah, setelah memberi beberapa pesan-pesan pada Arjuna, Basudewa pun mangkat. 

Sesuai dengan petunjuka dan amanat dari Kresna, Arjuna mengajak semua orang yang masih hidup di Dwaraka untuk ikut dengannya ke Kurukshetra. Dalam amanatnya, Kresna berpesan kepada Arjuna bahwa Kota Dwaraka akan tersapu oleh gelombang samudera pada hari ketujuh setelah dirinya wafat. 

Kehancuran Dwaraka tujuh hari setelah Kresna meninggal


Dalam perjalanan pulang, Arjuna dicegat oleh sekelompok begundal dan perampok, anehnya kekuatan Arjuna seperti lenyap ketika berhadapan dengan para perampok tersebut, Arjuna sadar bahwa takdirnya akan segera datang. 

Setelah berhasil lepas dari cengkeraman perampok, hanya sebagian kecil saja yang berhasil selamat, namun banyak harta benda dan para wanita yang hilang dibawa oleh para perampok tersebut. Sesampainya di Kurukshetra, kaum Yadawa kemudian dipimpin oleh Bajra. 

Setelah menyesali akan peristiwa yang telah menimpa dirinya, Arjuna segera menemui kakeknya yaitu Resi Byasa,  Oleh sang kakek, para Pandawa serta Drupadi dianjurkan untuk melakukan perjalanan suci ke Pegunungan Himalaya untuk meninggalkan urusan duniawi. 

Seperti diceritakan di sini, dalam perjalanan suci tersebut, satu-persatu para pandawa meninggal dunia, dan hanya tersisa Yudhistira dan anjingnya saja yang berhasil sampai di puncak Himalaya.

=